Senin, 23 September 2013

Musyawarah dan dakwah islam

musyawarah dan dakwah islam

A.Musyawarah
1.Pengertian Musyawarah
Definisi musyawarah, musyawarah menurut bahasa berasal Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Sedang menurut istilah; musyawarah adalah perundingan antara dua orang atau lebih untuk memutuskan masalah secara bersama-sama sesuai dengan yang diperintahkan Allah.


2. Musyawarah dalam Pandangan Islam
Disyari’atkannya Musyawarah
Syura atau pengambilan pendapat hukumnya sunnah dan khusus bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imran [3]: 159)
Ini seluruhnya dari Rasul untuk seluruh kaum Muslim. Dan ayat yang kedua berbunyi:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS. asy-Syura [42]: 38)
Sifat-sifat itu hanya ada pada kaum Muslim.
Abu Hurairah ra berkata: Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak musyawarahnya dari pada Rasulullah saw terhadap para sahabatnya.
Hasan ra berkata: Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka memperoleh petunjuk agar urusan mereka mendapatkan bimbingan.
Adapun penyampaian pendapat boleh didengar dari kaum Muslim maupun non muslim, karena Rasul telah mentaqrirkan suatu pendapat yang ada pada hilf al-fudlul. Beliau bersabda: ‘Jika aku dipanggil bersamanya, sungguh aku akan memenuhi (panggilannya), dan aku tidak ingin melanggarnya. (Ketahuilah) bahwasanya hal itu bagiku (lebih baik dari pada) unta merah’. Padahal pendapat tersebut adalah pendapat orang-orang musyrik.
Landasan Musyawarah

Yang kini samar dalam benak kebanyakan kaum Muslim adalah perkara-perkara apa yang diputuskan melalui musyawarah? apakah wajib mengambil pendapat mayoritas tanpa melihat lagi benar atau salahnya? atau wajib mengambil pendapat yang benar tanpa memandang lagi mayoritas atau minoritas?
Untuk mengetahui jawaban perkara-perkara tadi diperlukan pemahaman terhadap realita tentang pendapat, dilihat dari sisi keberadaannya sebagai pendapat. Apa sebenarnya pendapat itu? Kemudian diperlukan pemahaman tentang dalil-dalil syara’ yang rinci, yang mengupas tentang pengambilan pendapat. Selanjutnya penerapan dalil-dalil tersebut terhadap realita tentang pendapat dengan penerapan yang bersifat tasyri’iy.


Realita Pendapat
Pendapat yang ada di dunia ini bisa digolongkan dalam empat jenis, yakni:
1.  Hukum syara.
2.  Definisi (terminologi) suatu perkara dari sekian banyak perkara. Baik definisi syar’i atau definisi tentang suatu fakta/realita.
3.  Pemikiran mengenai suatu topik, atau perkara yang bersifat seni/teknik, yang dipahami orang yang ahli dan spesialis (pakarnya).
4.  Pendapat yang mengarah kepada suatu aktivitas diantara berbagai aktivitas untuk dilaksanakan.
Syuro Berlaku Untuk Semua Jenis Pendapat
Nash al-Quran menunjukkan bahwa syura itu terkait dengan seluruh pendapat yang ada.
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS. asy-Syura [42]: 38)
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran [3]: 159)
Kalimatnya disini berbentuk umum, kata amruhum berarti perkara kaum Muslim, mencakup seluruh perkara. Sedangkan kata al-amru, alif lam disini untuk jenis, maksudnya jenis perkara. Bentuk umum tetap berlaku umum selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan syura dalam perkara apapun, sehingga syura bersifat umum mencakup seluruh pendapat.
Landasan Pengambilan Keputusan

    Pendapat jenis pertama landasan pengambilan keputusannya adalah kekuatan dalil.

Dalam kasus perjanjian hudaybiyah Rasulullah justru mengambil pendapat yang bertentangan dengan pendapat semua sahabat, bahkan Abu Bakr dan Umar.
Umar: “Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Bukankah kita ini Muslimin?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”
Abu Bakr: “Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia Rasulullah.”
Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya pembicaraan itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Nabi berkata:
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
Saya hamba Allah dan RasulNya. Saya takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya.” (HR Bukhari)

    Pendapat jenis kedua dan ketiga landasan pengambilan keputusannya adalah ketepatan atau kesesuaian dengan fakta yg didefinisikan.

Dalam perang Badar, ketika Nabi dan kaum Muslim sama-sama singgah di sebuah tempat yang berdekatan dengan mata air di daerah Badar. Hubab bin al-Munzhir keberatan singgah (dan mendirikan pos) di tempat tersebut, lalu ia berkata kepada Rasul, ‘‘Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menganggap bahwa tempat singgah ini telah diwahyukan oleh Allah kepadamu sehingga tidak ada hak bagi kami untuk mendahului maupun mundur darinya? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya saja? Kemudian Rasul menjawab: ‘Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya’. Maka Hubab bin al-Munzhir berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini bukanlah tempat singgah yang layak’. Kemudian dia menunjukkan suatu tempat. Rasulullah tidak lagi berdiam diri langsung berdiri bergegas bersama-sama dengan yang lain mengikuti pendapat Hubab bin al-Munzhir.’ (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam  hal 598)
Dalam kasus ini Rasul meninggalkan pendapatnya dan juga tidak kembali kepada pendapat para jama’ah (mayoritas), melainkan mengikuti pendapat yang benar. Sehingga cukup pengambilan dari satu orang sesuai dengan persoalan yang disabdakan Rasul: Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya.
Dalam perang Ahzab (Khandaq/parit) Rasulullah saw bermusyawarah dengan Pemimpin Aus dan khazraj (Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah) tentang perdamaian yang akan Beliau lakukan dengan Bani Ghathafan untuk memecahkan kekuatan pasukan sekutu kafir Quraisy. Kedua sahabat itu berkata: ”Wahai Rasulullah, jika usulan itu datangnya dari langit (wahyu) maka laksanakanlah! Namun apabila usulan itu masih bisa di ubah dengan apa yang anda perintahkan, maka keputusan kami serahkan sepenuhnya kepada anda. Kami hanya bisa patuh dan melaksanakannya. Akan tetapi jika usulan tersebut hanya sekedar usulan yang masih mungkin untuk dimusyawarahkan lagi, maka pilihan kami hanyalah pedang (berperang)” Rasulullah bersabda: ”Jika memang Allah memerintahkan hal itu kepada diriku, pasti aku tidak akan mengajak kalian berdua untuk bermusyawarah” (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam  hal 190)

    Pendapat jenis keempat landasan pengambilan keputusannya adalah suara mayoritas.

Rasulullah bersabda kepada Abu Bakr dan Umar:
لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا
Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil permufakatan (masyurah), maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua. (HR Ahmad)
Dalam kasus perang uhud, Rasulullah saw telah mengumpulkan para pakar (pemuka) dari kaum Muslim termasuk orang yang seakan-akan tampak ke-Islamannya (munafik-pen) dan mereka bermusyawarah. Lalu Nabi saw berpendapat bahwa lebih baik mereka berjaga-jaga (bertahan) di kota Madinah dan membiarkan pasukan Quraisy berada diluar Madinah. Pimpinan kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul berpendapat seperti pendapat Nabi, dan pendapat seperti ini juga dianut para pemuka sahabat. Tetapi ada pendapat dari kalangan pemuda dan orang-orang yang memiliki semangat pembelaan yang kuat yang tidak hadir pada perang Badar dan juga yang telah ikut perang badar dan menang, yang berpendapat lebih baik keluar (Madinah) untuk menyongsong dan melawan musuh. Maka muncullah mayoritas dukungan terhadap pendapat para pemuda tadi sehingga Rasul menyetujui pendapat mereka dan mengikuti pendapat mayoritas. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw menyetujui pendapat mayoritas dan beramal sesuai dengan pendapat tersebut serta meninggalkan pendapatnya dan pendapat para pemuka sahabat, karena mereka berada pada posisi minoritas, hingga orang-orang menyesal (karena tidak sependapat dg Rasulullah) lalu mereka pergi menghadap Rasulullah dan berkata: “Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan.” Nabi tetap menolak permintaan mereka : Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”

Penentuan Jenis Pendapat
Kadangkala penerapan dalil-dalil terhadap berbagai pendapat yang ada di dunia terdapat kesamaran mengenai perbedaan antara peristiwa Badar dengan peristiwa Uhud. Kadang orang mengatakan bahwa di dalam pembahasan realita tentang pendapat tidak terdapat perbedaan antara pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas dengan pendapat yang menghantarkan kepada suatu pemikiran, karena pada akhirnya semua itu kembali kepada suatu aktivitas. Lalu dari mana datangnya perbedaan diantara keduanya?
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide hanya membahas topiknya saja tanpa melihat kepada aktivitas. Jadi, fokus pembahasannya adalah topiknya bukan aktivitas. Lagi pula yang diinginkan dari pemahaman tersebut adalah tercapainya fikrah/pemikiran tentang topik yang dibahas tanpa memperhatikan lagi aktivitas, atau tanpa memperhatikan lagi aktivitas yang akan dihasilkan fikrah tersebut. Misalnya, kaum Muslim keluar untuk memerangi riddah (orang-orang murtad) yang dianjurkan oleh Abu Bakr, dengan alasan bahwa hal itu adalah pemberontakan sekelompok masyarakat dalam rangka menghindari pelaksanaan hukum-hukum Islam. Sementara yang dianjurkan Umar beralasan bahwa hal itu adalah perang kelompok yang kuat dalam menentang negara, dan kadangkala negara tidak berdaya memerangi mereka. Oleh karena itu Abu Bakr berkata: ‘Demi Allah, kalau saja mereka enggan (tidak membayar zakat meskipun berupa-pen) (tali) kekang unta, dimana mereka pernah menunaikannya (zakat) kepada Rasulullah, maka sungguh aku akan perangi mereka’. Ketika topik pembahasan sudah menjadi jelas bagi Umar, beliau menarik kembali pendapatnya dan mengikuti pendapat yang tepat (benar), yaitu pendapat Abu Bakr. Karena topiknya benar-benar merupakan perkara perlawanan sekelompok masyarakat dan bukan perkara tentang peperangan sekelompok besar (kuat) yang menentang negara. Pembahasan sebenarnya adalah bukan pada keluar atau tidaknya untuk berperang sebagaimana yang pernah terjadi di Uhud, melainkan apakah enggannya orang-orang Arab menunaikan zakat setelah wafatnya Rasul dan sikap perlawanan mereka kepada negara merupakan pemberontakan terhadap pelaksanaan hukum syara’, atau hanya perlawanan sekelompok besar (masyarakat) terhadap negara? Inilah yang menjadi topik pembahasan. Oleh karena itu maka pembahasannya adalah tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu pemikiran. Prosesnya dikembalikan kepada pendapat yang paling tepat. Dalam kasus tersebut adalah pendapat yang menyatakan bahwa hal itu merupakan pemberontakan dari sekelompok rakyat terhadap pelaksaan hukum-hukum syara’.
Dalam contoh tersebut jelas bahwa fokus pembahasannya adalah topiknya bukan aktivitas. Meski ketiga contoh tersebut menghasilkan berbagai aktivitas, akan tetapi pembahasannya tidak masuk pada aktivitasnya melainkan kepada fikrah (ide). Terungkapnya fikrah tersebut akan menghantarkan pada dilaksanakan atau tidaknya suatu aktivitas, atau akan dilaksanakan sesuai dengan bentuk yang dikehendaki oleh fikrah yang telah dibahas. Jadi, pembahasannya adalah agar tercapainya suatu pendapat tentang sebuah topik, atau sampainya pada suatu ide tentang topik tersebut. Apabila suatu ide telah tercapai, barulah ditentukan aktivitasnya berdasarkan ide yang telah dicapai dalam pembahasan tadi. Dengan demikian pendapat yang telah dibahas ini tidak menghantarkan pada suatu aktivitas secara langsung, melainkan menghantarkan kepada suatu ide. Kadangkala ide yang telah tercapai menghasilkan pelaksanaan aktivitas. Terkadang juga tidak menghasilkan pelaksanaan aktivitas.
Adapun pendapat yang menghantarkan kepada aktivitas, topik pembahasan didalamnya adalah pelaksanaan suatu aktivitas tanpa memandang lagi pada topik yang bisa menghasilkan aktivitas tersebut. Contohnya ketika Abu Bakr berkonsultasi dengan kaum Muslim tentang siapa yang akan menjadi Khalifah setelah beliau. Ini adalah pembahasan mengenai pemilihan seorang Khalifah, yaitu apakah mereka memilih sifulan atau sifulan. Pembahasannya sama sekali bukan mengenai kekhilafahan. Pembahasannya tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas.
Adapun yang berkaitan dengan kesamaran yang terdapat dalam perbedaan antara peristiwa Badar dan peristiwa Uhud, maka kadangkala orang mengatakan tidak ada bedanya antara peristiwa Badar dengan peristiwa Uhud. Lalu mengapa peristiwa Badar dianggap bagian dari pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide, sedangkan peristiwa Uhud dianggap sebagai bagian dari pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas, sementara masing-masing dari peristiwa tersebut adalah sama-sama pergi ke medan (perang), tidak terdapat perbedaan antara keduanya? Jawaban terhadap hal ini adalah, bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara dua peristiwa tersebut. Peristiwa Uhud adalah (membahas) apakah mereka keluar (kota Madinah) atau bertahan? Dalam peristiwa itu terdapat semangat dan rasionalitas, bukan (membahas) tentang tempat peperangan. Oleh karena itu kita jumpai bahwa Rasul saw lah yang mengatur (taktik) militer ditempat yang strategis diatas gunung Uhud. Beliau sendiri yang mengaturnya dan menempatkan para pemanah berada dibelakang dan menyuruh mereka agar tidak turut (turun ke bawah untuk) menyerang. Dalam hal ini beliau tidak mengikuti pada pendapat kelompok. Sedangkan fakta tentang peristiwa Badar, pembahasannya adalah pengaturan militer pada tempat yang strategis. Dalam hal ini Rasulullah kembali pada pendapat yang tepat (benar). Ini dari satu sisi. Dari sisi lain dalil mengenai hal ini bukan perbuatan Rasul saja, melainkan perbuatan dan perkataan beliau, yaitu sabda Rasul saw: Ia adalah pendapat, peperangan dan tipu daya.
Pengambil Keputusan
Tinggal satu masalah lagi yaitu, siapa yang berhak menjelaskan hal yang lebih tepat (benar) sehingga pendapatnya adalah pendapat yang kuat? Jawaban atas hal ini bahwa yang mentarjih pendapat yang benar adalah orang yang memiliki wewenang dalam masalah tersebut, yakni Amir al-qaum, maksud-nya pemimpin suatu kaum. Dialah yang bermusyawarah dengan jama’ah. Dalilnya adalah ayat:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. (QS. Ali Imran [3]: 159)
Syura pernah terjadi pada masa Rasul, dan beliau bertindak selaku pemimpin kaum Muslim. Allah telah menetapkan perkara tersebut pada beliau setelah melakukan musyawarah, melaksanakan apa yang diputuskannya, dan apa yang dipandangnya sebagai pendapat yang benar. Maka keberadaannya adalah sebagai murajjih (orang yang mengutamakan) pendapat yang benar. Demikian juga halnya dengan seluruh pemimpin suatu kaum. Sebab, musyawarah ini bukan dikhususkan bagi Rasul saja, melainkan berlaku umum bagi seluruh kaum Muslim. Karena seruan (khithab bagi) Rasul adalah seruan bagi umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkanya. Dalam perkara ini tidak ada  dalil yang mengkhususkannya hanya untuk Rasul. Jadi, keberadaannya berbentuk umum.
Yang harus menentukan aspek yang benar (tepat) itu hanya satu orang saja, sebabnya:

    Allah menjadikan pengambil keputusan hanya untuk satu orang dengan mengatakan فَإِذَا عَزَمْتَ  (jika kamu telah membulatkan tekad) bukan فَإِذَا عَزَمْتُم (jika kalian  telah membulatkan tekad)
    Bahwa realita aspek yang benar wajib menjadikan pentarjih hanya satu orang saja, karena jika dibiarkan pentarjihan itu dilakukan oleh dua orang, tiga atau lebih, memungkinkan terjadi perbedaan pendapat. Dan perbedaan pendapat mereka akan memaksa untuk kembali pada masalah tahkim. Apabila mereka bertahkim kepada dua orang, maka tetap saja masih terjadi silang pendapat diantara mereka sehingga proses tahkim kembali kepada salah satu dari keduanya. Dengan demikian tahkim akhirnya tetap kembali kepada satu orang.
    Sesungguhnya perkara yang sangat besar dikalangan kaum Muslim adalah pusat Khilafah (markaz al-khilafah). Syari’at Islam telah memberikan hanya kepada (seorang) Khalifah saja seluruh wewenang pentarjihan suatu hukum atas hukum lainnya dalam rangka pengadopsian berbagai hukum. Penentuan kebijakannya berdasarkan kekuatan dalil, dan telah diberikan baginya hak dalam pentarjihan aspek yang benar. Hanya dia (Khalifah) yang memiliki hak mengumumkan perang, perjanjian damai, pembatasan hubungan diplomatik dengan negara-negara kafir, dan lain-lain yang termasuk ke dalam wewenang seorang Khalifah.

Khatimah
Jelaslah bahwa dalam Islam suara mayoritas hanya menjadi rujukan dalam kasus pendapat yang mengarah kepada suatu aktivitas diantara berbagai aktivitas untuk dilaksanakan, tidak bernilai sama sekali jika dikaitkan dengan hukum atas suatu perbuatan maupun definisi atas suatu fakta atau perkara yang membutuhkan keahlian khusus.
Tidak pernah para sahabat mengajak Rasulullah saw untuk musyawawarah ketika turun perintah (wahyu) dari Allah swt, mereka tidak mengatakan: ”Rasulullah saw sebaiknya kita mengundurkan dulu kewajiban menutup aurat ini karena secara mental masyarakat Madinah belum siap, disamping itu mereka belum punya uang membeli pakaian untuk menutup aurat mereka” Tetapi para sahabat segera melaksanakan kewajiban segera setelah ayat turun, hal ini sebagai wujud keta’atan mereka kepada Allah swt dan rasul-Nya (taqwa).
Aisyah berkata : Semoga Allah merahmati kaum Wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke kerah baju mereka (TQS. An-Nur [24]: 31). Maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka (untuk dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya. (HR Bukhari)
Adapun musyawarah sekarang yang dilakukan menghasilkan hukum-hukum yang bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Riba dihalalkan melalui bunga bank, khamr dihalalkan dan hanya dibatasi distribusinya, zina dibolehkan dan hanya dilokalisir, kepemilikan umum di berikan kepada asing, dll, kemudian penguasa menerapkan hasil musyawarah tersebut.
Sayyid Quthb memberikan istilah penguasa seperti ini adalah pencuri kekuasaan Allah swt, mereka mencabut kekuasaan Allah swt dengan memerintah manusia berdasarkan syari’at buatan mereka. Seolah-olah mereka ini adalah Tuhan dan rakyat adalah hamba mereka. (Petunjuk Jalan (ma’alim fith-thariiq) hal 66)
Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa mereka yang meyakini undang-undang buatan manusia tanpa berlandaskan syari’at Allah swt, maka mereka telah menyekutukan (syirik) Allah swt. (4 Istilah dalam al-Quran (al-mushthalahat al-arba’atu fi al-Quran) hal 36, 53, 105).  Pandangan yang sama dikemukakan oleh Salman al-Audah, bahwa termasuk syirik membuat UU dan sistem yang bertentangan dengan syari’at Allah. (Doktrin Syahadat Nabi (hakadza allamad anbiya laa ilaaha illallaah) hal 39).
Muhammad Quthb menegaskan kewajiban berhukum secara total kepada syari’at Allah swt, bukan hukum yang lain (buatan manusia). Hukum hanya dua; hukum Allah swt atau hukum jahiliyah, tidak ada hukum ketiga atau pertengahan (Koreksi Atas Pemahaman Ibadah (mafahim yanbaghi an tushabah),  hal 47). Jadi, hukum-hukum hasil musyawarah manusia, sementara Allah swt telah menetapkan dalam al-Quran dan as-sunnah maka termasuk hukum jahiliyah. Allahu A’lam.

Definisi “Dakwah” secara bahasa:

1. Meminta dengan sangat untuk memenuhi seruan, baik disambut maupun tidak permintaan itu. Dan permintaan ini berkaitan dengan keyakinan, perkataan dan amal perbuatan.

Alloh ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُون * سورة الانفال 24

 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.” (QS. al-Anfal 24)
B. Dakwah Islam
1. Pengertian “Dakwah” secara istilah syar’i:

Sebuah usaha baik perkataan maupun perbuatan yang mengajak manusia untuk menerima islam, mengamalkan dan berpegang teguh terhadap prinsip-prinsipnya, meyakini aqidahnya serta berhukum dengan syari’at-Nya.”

Ada beberapa perkatan ulama dalam mendefiniskan dakwah sebagai berikut:

1. Syaikhul islam Ibnu taimiah rohimahulloh berkata: dakwah kepada alloh adalah dakwah menuju keimanan kepada-Nya dan terhadap apa yang di bawa oleh Rosul-Nya dengan meyakini apa yang dikhobarkan olehnya dan menta’ati perintahnya. (majmu fatawa jilid 15 hal.92 cetakan darul wafa)

2. Imam Ibnu jarir at-thobari rohimahulloh berkata tentang maksud dakwah: yaitu menyeru menusia menuju islam dengan perkataan dan perbuatan. (tafsir at-thobari jilid 11 hal.53)

3. Imam Ibnu katsir rohimahulloh berkata: Dakwah kepada Alloh yaitu dakwah/seruan kepada persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecualai Alloh ta’ala satu-satunya dan tidak ada sekutu baginya. (tafsir ibnu katsir jilid 2 hal.477)

4. Syaikh Ali mahfudz rohimahulloh berkata: Dakwah kepada Alloh ialah memotivasi manusia kepada kepada kebaikan, petunjuk, dan memrintahkan kebaiakan serta mencegah yang mungkar agar meraih kebahagiaan dunia akherat. ( Manhaj ad-da’wah ilallohi Hal.96)

2. Dinamika Sosial Dakwah

Dakwah Islam memihak pada kebenaran; al-haq dan ma’ruf karena hal tersebut yang sesuai dengan fitrah manusia. Dakwah dalam prakteknya merujuk kepada fitrah manusia karena dalam fitrah itu ada kebenaran yang dengan begitu kebenaran akan hadir pada diri mad’u dan diterimanya dengan ketulusan. Maka, dalam dakwah tidak ada paksaan, tidak ada tipu muslihat,tidak ada pengkaburan kesadaran penciptaan prakondisi negatif lain yangdapat mendorong pada penerimaan dakwah secara paksa. Jadi hakekat dakwah adalah mengajak manusia kembali kepada hakikat fitri yang tidak lain adalah jalan Allah serta mengajak manusia kembali kepada fungsi dan tujuan hakikikeberadaannya dalam bentuk mengimani ajaran kebenaran danmentransformasikan iman menjadi amal sholeh. (Sultan, 2003 : 56)Di dalam proses kegiatan dakwah terdapat beberapa faktor yangmenyebabkan kegiatan dakwah dapat berlangsung dengan baik, yaitu sebagaiberikut :

Dai merupakan kunci dakwah oleh karena ia bagaikan orang yang memegang alat dakwah. Di tangannya dakwah memperolehkeberhasilan atau kegagalan. Adapun tiga hal yang perlu diperhatikan oleh juru dakwah dalam berdakwah yakni :
corak kemajemukan pluralitas masyarakat suatu bangsa adalah ke-bhinekaan dalam beberapa aspek kehidupan yang meliputi ideologi, sosio-kultural, agama, suku, bahasa,politik dan sebagainya

Hukum Dakwah

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون * سورة آل عمران 104

Jika min yang ada pada Surat Ali Imaron ayat. 1o4 di atas [ minkum ] adalah min lil bayaniyah, maka     dakwah menjadi kewajiban bagi setiap orang [ individual ] orang Islam, tetapi jika min  dalam ayat tersebut  adalah min littab ‘idhiyyah [ menyatakan untuk sebahagian ] maka dakwah menjadi kewajiban ummat secara kolektif atau pardhu kifayah.  Dua pengertian tersebut dapat digunakan sekaligus.  Untuk hal-hal yang mampu  dilaksanakan secara individual, dakwah menjadi kewajiban setiap muslim [ fardhu ‘ain ] , sedangkan untuk hal-hal yang hanya mampu dilaksanakan secara kolektif, maka dakwah menjadi kewajiban yang bersifat kolektif [ fardhu kifayah ].  Setiap muslim dan muslimat yang sudah baligh wajib berdakwah, baik secara aktif maupun secara pasif.  Secara pasif dalam arti semua sikap dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat menjadi contoh dan tuntunan bagi masyarakat.

          Kewajiban berdakwah bagi setiap individu, selain dinyatakan dalam ayat tersebut di atas ditegaskan juga dalam Al-Qur’an, dan pesan Rasulullah Saw pada waktu Haji Wada’, :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

            Artinya: “ Demi masa sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran “.[Q.S. Al-‘Ashr/103].

فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّهُ رُبَّ مُبَلِّغٍ يُبَلِّغُهُ لِمَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ (رواه البخا رى )

  “ ….maka hendaklah yang menyaksikan di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena boleh jadi yang hadir itu menyampaikannya kepada orang ..”.

           Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda :

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً رواه البخاري)

Artinya: “….. sampaikanlah apa yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat…”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar