musyawarah dan
dakwah islam
A.Musyawarah
1.Pengertian Musyawarah
Definisi
musyawarah, musyawarah menurut bahasa berasal Syawara yaitu berasal dari Bahasa
Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan
sesuatu. Sedang menurut istilah; musyawarah adalah perundingan antara dua orang
atau lebih untuk memutuskan masalah secara bersama-sama sesuai dengan yang
diperintahkan Allah.
2. Musyawarah dalam Pandangan Islam
Disyari’atkannya
Musyawarah
Syura
atau pengambilan pendapat hukumnya sunnah dan khusus bagi kaum Muslim. Allah
SWT berfirman:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا
مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imran [3]: 159)
Ini
seluruhnya dari Rasul untuk seluruh kaum Muslim. Dan ayat yang kedua berbunyi:
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS.
asy-Syura [42]: 38)
Sifat-sifat
itu hanya ada pada kaum Muslim.
Abu
Hurairah ra berkata: Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak
musyawarahnya dari pada Rasulullah saw terhadap para sahabatnya.
Hasan
ra berkata: Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka memperoleh
petunjuk agar urusan mereka mendapatkan bimbingan.
Adapun
penyampaian pendapat boleh didengar dari kaum Muslim maupun non muslim, karena
Rasul telah mentaqrirkan suatu pendapat yang ada pada hilf al-fudlul. Beliau
bersabda: ‘Jika aku dipanggil bersamanya, sungguh aku akan memenuhi
(panggilannya), dan aku tidak ingin melanggarnya. (Ketahuilah) bahwasanya hal
itu bagiku (lebih baik dari pada) unta merah’. Padahal pendapat tersebut adalah
pendapat orang-orang musyrik.
Landasan
Musyawarah
Yang
kini samar dalam benak kebanyakan kaum Muslim adalah perkara-perkara apa yang
diputuskan melalui musyawarah? apakah wajib mengambil pendapat mayoritas tanpa
melihat lagi benar atau salahnya? atau wajib mengambil pendapat yang benar
tanpa memandang lagi mayoritas atau minoritas?
Untuk
mengetahui jawaban perkara-perkara tadi diperlukan pemahaman terhadap realita
tentang pendapat, dilihat dari sisi keberadaannya sebagai pendapat. Apa
sebenarnya pendapat itu? Kemudian diperlukan pemahaman tentang dalil-dalil
syara’ yang rinci, yang mengupas tentang pengambilan pendapat. Selanjutnya
penerapan dalil-dalil tersebut terhadap realita tentang pendapat dengan
penerapan yang bersifat tasyri’iy.
Realita
Pendapat
Pendapat
yang ada di dunia ini bisa digolongkan dalam empat jenis, yakni:
1. Hukum syara.
2. Definisi (terminologi) suatu perkara dari
sekian banyak perkara. Baik definisi syar’i atau definisi tentang suatu
fakta/realita.
3. Pemikiran mengenai suatu topik, atau perkara
yang bersifat seni/teknik, yang dipahami orang yang ahli dan spesialis
(pakarnya).
4. Pendapat yang mengarah kepada suatu aktivitas
diantara berbagai aktivitas untuk dilaksanakan.
Syuro
Berlaku Untuk Semua Jenis Pendapat
Nash
al-Quran menunjukkan bahwa syura itu terkait dengan seluruh pendapat yang ada.
Sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS. asy-Syura [42]:
38)
Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran [3]: 159)
Kalimatnya
disini berbentuk umum, kata amruhum berarti perkara kaum Muslim, mencakup
seluruh perkara. Sedangkan kata al-amru, alif lam disini untuk jenis, maksudnya
jenis perkara. Bentuk umum tetap berlaku umum selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan syura dalam
perkara apapun, sehingga syura bersifat umum mencakup seluruh pendapat.
Landasan
Pengambilan Keputusan
Pendapat jenis pertama landasan pengambilan
keputusannya adalah kekuatan dalil.
Dalam
kasus perjanjian hudaybiyah Rasulullah justru mengambil pendapat yang
bertentangan dengan pendapat semua sahabat, bahkan Abu Bakr dan Umar.
Umar:
“Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?”
Abu
Bakr: “Ya, memang!”
Umar:
“Bukankah kita ini Muslimin?”
Abu
Bakr: “Ya, memang!”
Umar:
“Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”
Abu
Bakr: “Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia Rasulullah.”
Setelah
itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya pembicaraan itu kepada Muhammad
dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan
keteguhan hati Nabi. Nabi berkata:
إِنِّي
رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Saya
hamba Allah dan RasulNya. Saya takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan
menyesatkan saya.” (HR Bukhari)
Pendapat jenis kedua dan ketiga landasan
pengambilan keputusannya adalah ketepatan atau kesesuaian dengan fakta yg
didefinisikan.
Dalam
perang Badar, ketika Nabi dan kaum Muslim sama-sama singgah di sebuah tempat
yang berdekatan dengan mata air di daerah Badar. Hubab bin al-Munzhir keberatan
singgah (dan mendirikan pos) di tempat tersebut, lalu ia berkata kepada Rasul,
‘‘Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menganggap bahwa tempat singgah ini
telah diwahyukan oleh Allah kepadamu sehingga tidak ada hak bagi kami untuk
mendahului maupun mundur darinya? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan
dan tipu daya saja? Kemudian Rasul menjawab: ‘Ia merupakan pendapat, peperangan
dan tipu daya’. Maka Hubab bin al-Munzhir berkata: ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ini bukanlah tempat singgah yang layak’. Kemudian dia menunjukkan
suatu tempat. Rasulullah tidak lagi berdiam diri langsung berdiri bergegas
bersama-sama dengan yang lain mengikuti pendapat Hubab bin al-Munzhir.’ (Shirah
Nabawiyah Ibnu Hisyam hal 598)
Dalam
kasus ini Rasul meninggalkan pendapatnya dan juga tidak kembali kepada pendapat
para jama’ah (mayoritas), melainkan mengikuti pendapat yang benar. Sehingga
cukup pengambilan dari satu orang sesuai dengan persoalan yang disabdakan
Rasul: Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya.
Dalam
perang Ahzab (Khandaq/parit) Rasulullah saw bermusyawarah dengan Pemimpin Aus
dan khazraj (Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah) tentang perdamaian yang
akan Beliau lakukan dengan Bani Ghathafan untuk memecahkan kekuatan pasukan
sekutu kafir Quraisy. Kedua sahabat itu berkata: ”Wahai Rasulullah, jika usulan
itu datangnya dari langit (wahyu) maka laksanakanlah! Namun apabila usulan itu
masih bisa di ubah dengan apa yang anda perintahkan, maka keputusan kami
serahkan sepenuhnya kepada anda. Kami hanya bisa patuh dan melaksanakannya.
Akan tetapi jika usulan tersebut hanya sekedar usulan yang masih mungkin untuk
dimusyawarahkan lagi, maka pilihan kami hanyalah pedang (berperang)” Rasulullah
bersabda: ”Jika memang Allah memerintahkan hal itu kepada diriku, pasti aku
tidak akan mengajak kalian berdua untuk bermusyawarah” (Shirah Nabawiyah Ibnu
Hisyam hal 190)
Pendapat jenis keempat landasan pengambilan
keputusannya adalah suara mayoritas.
Rasulullah
bersabda kepada Abu Bakr dan Umar:
لَوْ
اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا
Jika
kalian berdua sepakat dalam satu hasil permufakatan (masyurah), maka aku tidak
akan bertentangan dengan kalian berdua. (HR Ahmad)
Dalam
kasus perang uhud, Rasulullah saw telah mengumpulkan para pakar (pemuka) dari
kaum Muslim termasuk orang yang seakan-akan tampak ke-Islamannya (munafik-pen)
dan mereka bermusyawarah. Lalu Nabi saw berpendapat bahwa lebih baik mereka
berjaga-jaga (bertahan) di kota Madinah dan membiarkan pasukan Quraisy berada
diluar Madinah. Pimpinan kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul berpendapat
seperti pendapat Nabi, dan pendapat seperti ini juga dianut para pemuka
sahabat. Tetapi ada pendapat dari kalangan pemuda dan orang-orang yang memiliki
semangat pembelaan yang kuat yang tidak hadir pada perang Badar dan juga yang
telah ikut perang badar dan menang, yang berpendapat lebih baik keluar
(Madinah) untuk menyongsong dan melawan musuh. Maka muncullah mayoritas
dukungan terhadap pendapat para pemuda tadi sehingga Rasul menyetujui pendapat
mereka dan mengikuti pendapat mayoritas. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
Rasulullah saw menyetujui pendapat mayoritas dan beramal sesuai dengan pendapat
tersebut serta meninggalkan pendapatnya dan pendapat para pemuka sahabat,
karena mereka berada pada posisi minoritas, hingga orang-orang menyesal (karena
tidak sependapat dg Rasulullah) lalu mereka pergi menghadap Rasulullah dan
berkata: “Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa
yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada
Tuhan, kemudian pada tuan.” Nabi tetap menolak permintaan mereka : Tidak layak
bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan
menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan
musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan
ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”
Penentuan
Jenis Pendapat
Kadangkala
penerapan dalil-dalil terhadap berbagai pendapat yang ada di dunia terdapat
kesamaran mengenai perbedaan antara peristiwa Badar dengan peristiwa Uhud.
Kadang orang mengatakan bahwa di dalam pembahasan realita tentang pendapat
tidak terdapat perbedaan antara pendapat yang menghantarkan kepada suatu
aktivitas dengan pendapat yang menghantarkan kepada suatu pemikiran, karena
pada akhirnya semua itu kembali kepada suatu aktivitas. Lalu dari mana datangnya
perbedaan diantara keduanya?
Perbedaan
antara keduanya adalah bahwa pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide hanya
membahas topiknya saja tanpa melihat kepada aktivitas. Jadi, fokus
pembahasannya adalah topiknya bukan aktivitas. Lagi pula yang diinginkan dari
pemahaman tersebut adalah tercapainya fikrah/pemikiran tentang topik yang
dibahas tanpa memperhatikan lagi aktivitas, atau tanpa memperhatikan lagi
aktivitas yang akan dihasilkan fikrah tersebut. Misalnya, kaum Muslim keluar
untuk memerangi riddah (orang-orang murtad) yang dianjurkan oleh Abu Bakr,
dengan alasan bahwa hal itu adalah pemberontakan sekelompok masyarakat dalam
rangka menghindari pelaksanaan hukum-hukum Islam. Sementara yang dianjurkan
Umar beralasan bahwa hal itu adalah perang kelompok yang kuat dalam menentang
negara, dan kadangkala negara tidak berdaya memerangi mereka. Oleh karena itu
Abu Bakr berkata: ‘Demi Allah, kalau saja mereka enggan (tidak membayar zakat
meskipun berupa-pen) (tali) kekang unta, dimana mereka pernah menunaikannya
(zakat) kepada Rasulullah, maka sungguh aku akan perangi mereka’. Ketika topik
pembahasan sudah menjadi jelas bagi Umar, beliau menarik kembali pendapatnya
dan mengikuti pendapat yang tepat (benar), yaitu pendapat Abu Bakr. Karena
topiknya benar-benar merupakan perkara perlawanan sekelompok masyarakat dan
bukan perkara tentang peperangan sekelompok besar (kuat) yang menentang negara.
Pembahasan sebenarnya adalah bukan pada keluar atau tidaknya untuk berperang
sebagaimana yang pernah terjadi di Uhud, melainkan apakah enggannya orang-orang
Arab menunaikan zakat setelah wafatnya Rasul dan sikap perlawanan mereka kepada
negara merupakan pemberontakan terhadap pelaksanaan hukum syara’, atau hanya
perlawanan sekelompok besar (masyarakat) terhadap negara? Inilah yang menjadi
topik pembahasan. Oleh karena itu maka pembahasannya adalah tentang pendapat
yang menghantarkan kepada suatu pemikiran. Prosesnya dikembalikan kepada
pendapat yang paling tepat. Dalam kasus tersebut adalah pendapat yang
menyatakan bahwa hal itu merupakan pemberontakan dari sekelompok rakyat
terhadap pelaksaan hukum-hukum syara’.
Dalam
contoh tersebut jelas bahwa fokus pembahasannya adalah topiknya bukan
aktivitas. Meski ketiga contoh tersebut menghasilkan berbagai aktivitas, akan
tetapi pembahasannya tidak masuk pada aktivitasnya melainkan kepada fikrah
(ide). Terungkapnya fikrah tersebut akan menghantarkan pada dilaksanakan atau
tidaknya suatu aktivitas, atau akan dilaksanakan sesuai dengan bentuk yang
dikehendaki oleh fikrah yang telah dibahas. Jadi, pembahasannya adalah agar
tercapainya suatu pendapat tentang sebuah topik, atau sampainya pada suatu ide
tentang topik tersebut. Apabila suatu ide telah tercapai, barulah ditentukan
aktivitasnya berdasarkan ide yang telah dicapai dalam pembahasan tadi. Dengan
demikian pendapat yang telah dibahas ini tidak menghantarkan pada suatu
aktivitas secara langsung, melainkan menghantarkan kepada suatu ide. Kadangkala
ide yang telah tercapai menghasilkan pelaksanaan aktivitas. Terkadang juga
tidak menghasilkan pelaksanaan aktivitas.
Adapun
pendapat yang menghantarkan kepada aktivitas, topik pembahasan didalamnya
adalah pelaksanaan suatu aktivitas tanpa memandang lagi pada topik yang bisa
menghasilkan aktivitas tersebut. Contohnya ketika Abu Bakr berkonsultasi dengan
kaum Muslim tentang siapa yang akan menjadi Khalifah setelah beliau. Ini adalah
pembahasan mengenai pemilihan seorang Khalifah, yaitu apakah mereka memilih
sifulan atau sifulan. Pembahasannya sama sekali bukan mengenai kekhilafahan.
Pembahasannya tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas.
Adapun
yang berkaitan dengan kesamaran yang terdapat dalam perbedaan antara peristiwa
Badar dan peristiwa Uhud, maka kadangkala orang mengatakan tidak ada bedanya
antara peristiwa Badar dengan peristiwa Uhud. Lalu mengapa peristiwa Badar
dianggap bagian dari pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide, sedangkan
peristiwa Uhud dianggap sebagai bagian dari pendapat yang menghantarkan kepada
suatu aktivitas, sementara masing-masing dari peristiwa tersebut adalah
sama-sama pergi ke medan (perang), tidak terdapat perbedaan antara keduanya?
Jawaban terhadap hal ini adalah, bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara dua
peristiwa tersebut. Peristiwa Uhud adalah (membahas) apakah mereka keluar (kota
Madinah) atau bertahan? Dalam peristiwa itu terdapat semangat dan rasionalitas,
bukan (membahas) tentang tempat peperangan. Oleh karena itu kita jumpai bahwa
Rasul saw lah yang mengatur (taktik) militer ditempat yang strategis diatas
gunung Uhud. Beliau sendiri yang mengaturnya dan menempatkan para pemanah
berada dibelakang dan menyuruh mereka agar tidak turut (turun ke bawah untuk)
menyerang. Dalam hal ini beliau tidak mengikuti pada pendapat kelompok.
Sedangkan fakta tentang peristiwa Badar, pembahasannya adalah pengaturan
militer pada tempat yang strategis. Dalam hal ini Rasulullah kembali pada
pendapat yang tepat (benar). Ini dari satu sisi. Dari sisi lain dalil mengenai
hal ini bukan perbuatan Rasul saja, melainkan perbuatan dan perkataan beliau,
yaitu sabda Rasul saw: Ia adalah pendapat, peperangan dan tipu daya.
Pengambil
Keputusan
Tinggal
satu masalah lagi yaitu, siapa yang berhak menjelaskan hal yang lebih tepat
(benar) sehingga pendapatnya adalah pendapat yang kuat? Jawaban atas hal ini
bahwa yang mentarjih pendapat yang benar adalah orang yang memiliki wewenang
dalam masalah tersebut, yakni Amir al-qaum, maksud-nya pemimpin suatu kaum.
Dialah yang bermusyawarah dengan jama’ah. Dalilnya adalah ayat:
وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. (QS. Ali Imran [3]: 159)
Syura
pernah terjadi pada masa Rasul, dan beliau bertindak selaku pemimpin kaum Muslim.
Allah telah menetapkan perkara tersebut pada beliau setelah melakukan
musyawarah, melaksanakan apa yang diputuskannya, dan apa yang dipandangnya
sebagai pendapat yang benar. Maka keberadaannya adalah sebagai murajjih (orang
yang mengutamakan) pendapat yang benar. Demikian juga halnya dengan seluruh
pemimpin suatu kaum. Sebab, musyawarah ini bukan dikhususkan bagi Rasul saja,
melainkan berlaku umum bagi seluruh kaum Muslim. Karena seruan (khithab bagi)
Rasul adalah seruan bagi umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkanya.
Dalam perkara ini tidak ada dalil yang
mengkhususkannya hanya untuk Rasul. Jadi, keberadaannya berbentuk umum.
Yang
harus menentukan aspek yang benar (tepat) itu hanya satu orang saja, sebabnya:
Allah menjadikan pengambil keputusan hanya
untuk satu orang dengan mengatakan فَإِذَا عَزَمْتَ (jika kamu telah membulatkan tekad) bukan فَإِذَا
عَزَمْتُم (jika kalian telah membulatkan
tekad)
Bahwa realita aspek yang benar wajib
menjadikan pentarjih hanya satu orang saja, karena jika dibiarkan pentarjihan
itu dilakukan oleh dua orang, tiga atau lebih, memungkinkan terjadi perbedaan
pendapat. Dan perbedaan pendapat mereka akan memaksa untuk kembali pada masalah
tahkim. Apabila mereka bertahkim kepada dua orang, maka tetap saja masih
terjadi silang pendapat diantara mereka sehingga proses tahkim kembali kepada
salah satu dari keduanya. Dengan demikian tahkim akhirnya tetap kembali kepada
satu orang.
Sesungguhnya perkara yang sangat besar
dikalangan kaum Muslim adalah pusat Khilafah (markaz al-khilafah). Syari’at
Islam telah memberikan hanya kepada (seorang) Khalifah saja seluruh wewenang
pentarjihan suatu hukum atas hukum lainnya dalam rangka pengadopsian berbagai
hukum. Penentuan kebijakannya berdasarkan kekuatan dalil, dan telah diberikan
baginya hak dalam pentarjihan aspek yang benar. Hanya dia (Khalifah) yang
memiliki hak mengumumkan perang, perjanjian damai, pembatasan hubungan
diplomatik dengan negara-negara kafir, dan lain-lain yang termasuk ke dalam
wewenang seorang Khalifah.
Khatimah
Jelaslah
bahwa dalam Islam suara mayoritas hanya menjadi rujukan dalam kasus pendapat
yang mengarah kepada suatu aktivitas diantara berbagai aktivitas untuk
dilaksanakan, tidak bernilai sama sekali jika dikaitkan dengan hukum atas suatu
perbuatan maupun definisi atas suatu fakta atau perkara yang membutuhkan
keahlian khusus.
Tidak
pernah para sahabat mengajak Rasulullah saw untuk musyawawarah ketika turun
perintah (wahyu) dari Allah swt, mereka tidak mengatakan: ”Rasulullah saw
sebaiknya kita mengundurkan dulu kewajiban menutup aurat ini karena secara
mental masyarakat Madinah belum siap, disamping itu mereka belum punya uang
membeli pakaian untuk menutup aurat mereka” Tetapi para sahabat segera
melaksanakan kewajiban segera setelah ayat turun, hal ini sebagai wujud
keta’atan mereka kepada Allah swt dan rasul-Nya (taqwa).
Aisyah
berkata : Semoga Allah merahmati kaum Wanita yang hijrah pertama kali, ketika
Allah menurunkan firman-Nya:
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Dan
hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke kerah baju mereka
(TQS. An-Nur [24]: 31). Maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka (untuk
dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya. (HR Bukhari)
Adapun
musyawarah sekarang yang dilakukan menghasilkan hukum-hukum yang bertentangan
dengan ketentuan Allah SWT. Riba dihalalkan melalui bunga bank, khamr
dihalalkan dan hanya dibatasi distribusinya, zina dibolehkan dan hanya
dilokalisir, kepemilikan umum di berikan kepada asing, dll, kemudian penguasa
menerapkan hasil musyawarah tersebut.
Sayyid
Quthb memberikan istilah penguasa seperti ini adalah pencuri kekuasaan Allah
swt, mereka mencabut kekuasaan Allah swt dengan memerintah manusia berdasarkan
syari’at buatan mereka. Seolah-olah mereka ini adalah Tuhan dan rakyat adalah
hamba mereka. (Petunjuk Jalan (ma’alim fith-thariiq) hal 66)
Abul
A’la al-Maududi menjelaskan bahwa mereka yang meyakini undang-undang buatan
manusia tanpa berlandaskan syari’at Allah swt, maka mereka telah menyekutukan
(syirik) Allah swt. (4 Istilah dalam al-Quran (al-mushthalahat al-arba’atu fi
al-Quran) hal 36, 53, 105). Pandangan
yang sama dikemukakan oleh Salman al-Audah, bahwa termasuk syirik membuat UU
dan sistem yang bertentangan dengan syari’at Allah. (Doktrin Syahadat Nabi
(hakadza allamad anbiya laa ilaaha illallaah) hal 39).
Muhammad
Quthb menegaskan kewajiban berhukum secara total kepada syari’at Allah swt,
bukan hukum yang lain (buatan manusia). Hukum hanya dua; hukum Allah swt atau
hukum jahiliyah, tidak ada hukum ketiga atau pertengahan (Koreksi Atas
Pemahaman Ibadah (mafahim yanbaghi an tushabah), hal 47). Jadi, hukum-hukum hasil musyawarah
manusia, sementara Allah swt telah menetapkan dalam al-Quran dan as-sunnah maka
termasuk hukum jahiliyah. Allahu A’lam.
Definisi
“Dakwah” secara bahasa:
1. Meminta dengan sangat untuk memenuhi
seruan, baik disambut maupun tidak permintaan itu. Dan permintaan ini berkaitan
dengan keyakinan, perkataan dan amal perbuatan.
Alloh
ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ
تُحْشَرُون * سورة الانفال 24
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan
dikumpulkan.” (QS. al-Anfal 24)
B. Dakwah Islam
1. Pengertian “Dakwah” secara istilah syar’i:
“Sebuah
usaha baik perkataan maupun perbuatan yang mengajak manusia untuk menerima
islam, mengamalkan dan berpegang teguh terhadap prinsip-prinsipnya, meyakini
aqidahnya serta berhukum dengan syari’at-Nya.”
Ada
beberapa perkatan ulama dalam mendefiniskan dakwah sebagai berikut:
1.
Syaikhul islam Ibnu taimiah rohimahulloh berkata: dakwah kepada alloh adalah
dakwah menuju keimanan kepada-Nya dan terhadap apa yang di bawa oleh Rosul-Nya
dengan meyakini apa yang dikhobarkan olehnya dan menta’ati perintahnya. (majmu
fatawa jilid 15 hal.92 cetakan darul wafa)
2.
Imam Ibnu jarir at-thobari rohimahulloh berkata tentang maksud dakwah: yaitu
menyeru menusia menuju islam dengan perkataan dan perbuatan. (tafsir at-thobari
jilid 11 hal.53)
3.
Imam Ibnu katsir rohimahulloh berkata: Dakwah kepada Alloh yaitu dakwah/seruan
kepada persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecualai Alloh
ta’ala satu-satunya dan tidak ada sekutu baginya. (tafsir ibnu katsir jilid 2
hal.477)
4.
Syaikh Ali mahfudz rohimahulloh berkata: Dakwah kepada Alloh ialah memotivasi
manusia kepada kepada kebaikan, petunjuk, dan memrintahkan kebaiakan serta
mencegah yang mungkar agar meraih kebahagiaan dunia akherat. ( Manhaj ad-da’wah
ilallohi Hal.96)
2. Dinamika Sosial Dakwah
Dakwah
Islam memihak pada kebenaran; al-haq dan ma’ruf karena hal tersebut yang sesuai
dengan fitrah manusia. Dakwah dalam prakteknya merujuk kepada fitrah manusia
karena dalam fitrah itu ada kebenaran yang dengan begitu kebenaran akan hadir
pada diri mad’u dan diterimanya dengan ketulusan. Maka, dalam dakwah tidak ada
paksaan, tidak ada tipu muslihat,tidak ada pengkaburan kesadaran penciptaan
prakondisi negatif lain yangdapat mendorong pada penerimaan dakwah secara
paksa. Jadi hakekat dakwah adalah mengajak manusia kembali kepada hakikat fitri
yang tidak lain adalah jalan Allah serta mengajak manusia kembali kepada fungsi
dan tujuan hakikikeberadaannya dalam bentuk mengimani ajaran kebenaran danmentransformasikan
iman menjadi amal sholeh. (Sultan, 2003 : 56)Di dalam proses kegiatan dakwah
terdapat beberapa faktor yangmenyebabkan kegiatan dakwah dapat berlangsung
dengan baik, yaitu sebagaiberikut :
Dai merupakan kunci dakwah oleh karena ia
bagaikan orang yang memegang alat dakwah. Di tangannya dakwah
memperolehkeberhasilan atau kegagalan. Adapun tiga hal yang perlu diperhatikan
oleh juru dakwah dalam berdakwah yakni :
corak kemajemukan pluralitas masyarakat suatu
bangsa adalah ke-bhinekaan dalam beberapa aspek kehidupan yang meliputi
ideologi, sosio-kultural, agama, suku, bahasa,politik dan sebagainya
Hukum
Dakwah
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون * سورة آل عمران 104
Jika
min yang ada pada Surat Ali Imaron ayat. 1o4 di atas [ minkum ] adalah min lil
bayaniyah, maka dakwah menjadi
kewajiban bagi setiap orang [ individual ] orang Islam, tetapi jika min dalam ayat tersebut adalah min littab ‘idhiyyah [ menyatakan
untuk sebahagian ] maka dakwah menjadi kewajiban ummat secara kolektif atau
pardhu kifayah. Dua pengertian tersebut
dapat digunakan sekaligus. Untuk hal-hal
yang mampu dilaksanakan secara
individual, dakwah menjadi kewajiban setiap muslim [ fardhu ‘ain ] , sedangkan
untuk hal-hal yang hanya mampu dilaksanakan secara kolektif, maka dakwah
menjadi kewajiban yang bersifat kolektif [ fardhu kifayah ]. Setiap muslim dan muslimat yang sudah baligh wajib
berdakwah, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara pasif dalam arti semua sikap dan
prilaku dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat
menjadi contoh dan tuntunan bagi masyarakat.
Kewajiban berdakwah bagi setiap
individu, selain dinyatakan dalam ayat tersebut di atas ditegaskan juga dalam
Al-Qur’an, dan pesan Rasulullah Saw pada waktu Haji Wada’, :
وَالْعَصْرِ
(1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Artinya: “ Demi masa sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran “.[Q.S.
Al-‘Ashr/103].
فَلْيُبَلِّغْ
الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّهُ رُبَّ مُبَلِّغٍ يُبَلِّغُهُ لِمَنْ هُوَ أَوْعَى
لَهُ (رواه البخا رى )
“ ….maka hendaklah yang menyaksikan di antara
kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena boleh jadi yang hadir itu
menyampaikannya kepada orang ..”.
Dalam kesempatan lain Rasulullah
bersabda :
بَلِّغُوا
عَنِّي وَلَوْ آيَةً رواه البخاري)
Artinya:
“….. sampaikanlah apa yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar